Telaah Nilai-Nilai Pesantren
Setiap pesantren di Indonesia memiliki karakter dan identitasnya sendiri-sendiri (Maunah, 2010). Perbedaan karakter ini menyebabkan adanya perbedaan
pula dalam penerapan pembelajaran dan sistem pendidikan yang
diterapkan di banyak pesantren. Perbedaan
ini disebabkan di antaranya oleh latar belakang berdirinya lembaga tersebut yang memunculkan visi dan misi yang diimpikan. Selain
itu, perbedaan terjadi juga karena latar belakang pemegang kendali (kiai) yang
mengadopsi kurikulum. Meskipun
demikian, semua lembaga pesantren dapat disimpulkan memiliki kesamaan dalam
hal karakteristik nilai ke-Islam-an yang dipegang.
Terkait dengan “nilai pesantren”, tidak ada kesepakatan baku
terkait dengan nilai-nilai tertentu yang dapat dijadikan acuan sebagai representasi
nilai pesantren. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya literatur buku dan kajian
tentang pesantren yang mengangkat berbagai macam nilai sebagai landasan dan
pegangan sistem yang ada di pesantren. Kendati demikian, telah disepakati bahwa
keragaman nilai ini terbukti
memiliki kontribusi nyata dan berdampak positif pada pembangunan mental dan kepribadian masyarakat di Indonesia sejak sebelum negara merdeka sampai di era modern ini yang dihadapkan pada penurunan karakter
dan moral bangsa.
Nilai pesantren di STAI Mathali’ul Falah
Pada dasarnya, nilai pesantren di Staimafa berangkat dari dua prinsip umum tentang nilai pesantren yang diistilahkan dengan sebutan “Shalih-akram”. Istilah shalih ini diambil dari surah al-Anbiya ayat 105: ‘…anna al ardl yaritsuha ibadiya as shalihuun…’. Menurut pendapat Mahfudzh S. (2007), shalih adalah sosok manusia ideal yang secara potensial mampu berperan aktif, berguna dan terampil dalam kehidupan sesama makhluk untuk mencetak manusia yang berguna terhadap sesamanya dengan berbekal ilmu pengetahuan dari pesantren yang berkaitan dengan kebutuhan kehidupan.[i] Dengan ungkapan lain, menurut Rozin (2012), yang merupakan putra KH. Sahal Mahfudh, shalih adalah individu yang memiliki kesalehan horisontal yaitu mampu membaca tanda-tanda zaman dan sekaligus mampu mengelola kehidupan di muka bumi ini sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman.[ii] Sedangkan bagi Suja’i (2013), “… shalih artinya cakap, terampil, dan profesional karena mempunyai pengetahuan, keahlian, dan kepiawaian yang tinggi …”.[iii]
Sedangkan akram pada dasarnya diambil dari ayat ‘Inna
akramakum ‘inda Allahi atqaakum’ (Al-Hujuraat, 13) yang dipahami sebagai
bentuk ideal seorang muslim dengan kesalehan transendental dalam hubungannya
sebagai individu dengan Allah Sang Pencipta. Karakter akram
dipersonifikasikan melalui niat yang baik, keikhlasan dan menjadikan motivasi
seluruh aktifitas hidupnya hanya kepada Allah (Rozin, 2012) sehingga dalam
tahap puncaknya merupakan pencapaian kelebihan manusia sebagai makhluk terhadap
Khaliqnya demi mencapai kebahagiaan di akhirat (Mahfudh, 2007).
Dua prinsip di atas adalah nilai yang melandasi penjabaran nilai-nilai
pesantren di Staimafa yang disebut “sembilan plus satu”. “Sembilan” artinya ada
sembilan nilai pesantren yang selalu ditanamkan dan diimplementasikan dalam
proses pendidikan di lembaga Staimafa dan lembaga lain yang berafiliasi.
Sembilan nilai ini meliputi: hirsh (curiosity), amanah (trustworthy),
tawadhu’ (humbleness), istiqamah (discipline), uswah hasanah (role
model), zuhud (austerity), kifah (spirit of struggle), dan
tawassuth (moderate). Sedangkan “satu” adalah satu nilai yang dinamakan
“barakah” yaitu nilai yang bersifat abstrak dan luas sebagai penyempurna setelah
sembilan nilai sebelumnya dapat terlaksana secara paripurna (Rozin, 2012).
Skema konsep Sembilan plus Satus
Secara lebih detail, nilai-nilai pesantren tersebut dapat dijelaskan
sebagai berikut:
1.
Khirs (curiosity): konsep khirs dapat ditemukan dalam kitab Talimul
muta’allim yang dalam dunia pesantren sering dipakai untuk memotivasi pasa
santri.[iv]
Hirsh dimaknai sebagai sikap kecintaan dan keingintahuan terhadap ilmu dan
pengetahuan yang tinggi sehingga menjadi motivasi belajar yang tidak terkikis
oleh waktu dan usia (Rozin, 2012). Nilai khirs ini ditanamkan kepada seluruh
individu yang aktif di lembaga Staimafa dan madrasah Mathaliul Falah dalam
bentuk kegiatan keilmuan, ketrampilan dan kegiatan-kegiatan lain yang dapat
menunjang peningkatan sumber daya manusia yang bersifat kognitif, afektif
maupun psikomotorik. Penanaman sikap ingin tahu sudah menjadi kenyataan yang
wajib dipenuhi untuk menjadi lembaga pendidikan yang ideal saat ini dan
ternyata perhatian pada tiga ranah tersebut menjadi karakteristik pesantren di
era modern ini (Nafi, A’la, Anisah, Aziz & Muhamin, 2007:33).[v]
Lembaga juga sangat mendorong tersebarnya lulusan didiknya ke berbagai daerah
baik dalam maupun luar negeri untuk berkiprah di tengah masyarakat maupun untuk
melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Sangat mungkin lulusan
yang ke luar negeri akan terbawa oleh disiplin keilmuan negara yang dituju. Hal
ini tidak menjadi kehawatiran namun sebaliknya akan berdampak positif karena
semakin menambah hazanah keilmuan dari lembaga itu sendiri.
Dalam konteks perkembangan zaman modern, sesuai
konsep shalih di atas, lembaga pendidikan yang pada mulanya banyak terfokus
pada ilmu keagamaan (tafaqquh fiddin) pada akhirnya wajib menyesuaikan dengan
tuntutan zaman yang mengharuskan penguasaan SDM dalam banyak bidang. Dengan
demikian tidak ada dikotomi keilmuan antara ilmu agama maupun umum. Dengan
adanya SDM yang tersebar secara keilmuan dan jaringan akan menjadikan
masyarakat yang inklusif dan terbuka.
Penanaman khirs juga akan berdampak pada pola
pikir yang apresiatif kepada orang lain karena seorang santri jika sudah
tertanam bahwa keilmuan dirinya masing kurang dan perlu dikembangkan maka
prilakunya tentu cenderung ingin tahu dan menghormati orang lain yang lebih
pintar. Sebaliknya, jika seseorang sudah merasa cukup terhadap keilmuan yang
dimiliki akan cenderung menganggap dia paling benar dan melihat pihak lain
salah. Hal ini dapat dilihat dari karakter para pelaku terorisme di negara ini
yang sering berdalih mengatasnamakan agama. Realitas semacam ini dapat
dipastikan adanya wawasan keilmuan yang minim terhadap agama sehingga menyebabkan
adanya sikap dan cara pandang yang salah.
Jika seseorang paham bahwa pengetahuan Islam itu
sangat luas seperti yang ditemukan dalam buku-buku ulama zaman dahulu sehingga
tidak mengherankan terjadinya perbedaan (ikhtilaf) antar mereka maka siapapun
pasti tidak mudah untuk melancarkan tuduhan negatif secara radikal dan
menganggap dirinya paling benar. Justifikasi diri secara membabibuta yang
dilandasi sikap emosi dapat berakibat fatal yang dapat menimbulkan aksi
terorisme dan mengganggu ketenangan hidup masyarakat.
2.
Amanah (trusworthy),
menurut Suja’i (2013) merupakan sifat dasar yang harus dimiliki oleh setiap
individu. Kejujuran dapat dimaknai sebagai sikap fair sekaligus upaya
menghindari persaingan yang saling menghancurkan. Amanah dapat juga diartikan
sebagai sikap dapat dipercaya dalam bersosial yang menurut Ghulayaini
diistilahkan tsiqqah (Ghulayaini, 1936: 129)[vi]
Nilai ini sesuai dengan perintah Al-Quran, surah Annisa ayat 85 bahwa umat
Islam diperintahkan untuk memenuhi amanahnya.
Dalam karyanya, Ghulayaini menuturkan bahwa
hilangnya kepercayaan (amanah) akan menyebabkan hilangnya kebahagiaan hidup.
Lebih lanjut, jika kepercayaan atau kejujuran hilang di antara pribadi manusia,
maka antara satu dengan yang lain akan menjadi binatang ganas yang saling
berkelahi. Artinya, kehidupan sosial terganggu dan aktivitas ekonomi menjadi
lesu karena jalannya kegiatan ekonomi pasti berangkat dari adanya kepercayaan
dan kejujuran.
Karakter jujur harus meniadakan prilaku
berkhianat, riya (pamer kebaikan), munafiq, dan bohong. Dalam konteks
Indonesia, hal ini sangat relevan mengingat realitas negara yang masih dipenuhi
dengan praktik korupsi dan pelanggaran hukum menunjukkan bukti hilangnya atau
kurangnya prilaku jujur di tengah pejabat negara ini. Oleh karenanya, sikap
jujur dan dapat dipercaya merupakan salah satu nilai pesantren yang harus terus
ditanamkan dan disebarkan seluas-luasnya dalam menciptakan pengelolaan negara
yang baik.
3.
Tawadhu’ (humbleness), sifat sederhana dan kerendah-hatian dalam konteks
hubungan sosial yang diejawantahkan dalam bentuk kesantunan dan kebersahajaan
dalam bertutur dan bertindak. Sifat al-Tawadldlu’ ini pulalah yang melandasi
rasa hormat seseorang kepada guru dan yang lebih tua tanpa mengurangi
dialektika akademik yang dinamis. (Suja’i, 2013). Menurut Mastuhu (1994:63),
tawadhu’ yang dimaksud tidak sama dengan kemiskinan, tapi sebaliknya identik
dengan kemampuan bersikap dan berfikir wajar, proporsional dan tidak tinggi
hati. Kesederhanaan bukan monopoli orang miskin, bodoh dan kecil, tetapi juga
dapat dimiliki oleh orang kaya, pandai dan besar. Dalam kehidupan nyata dua
kemungkinan terjadi bahwa mungkin terjadi orang kaya, pandai dan besar tapi
rendah hati. Sebaliknya juga terdapat orang miskin, bodoh dan kecil tetapi
sombong, tinggi hati dan berlebih-lebihan. Jadi sederhanya adalah adanya
kewajaran sikap yang menempatkan diri dan emosi secara proporsional.[vii] Kesederhanaan merujuk pada upaya untuk
menjalani kehidupan sesuai keperluan sehingga ada kesadaran mengenai segala
sesuatu yang menjadi keperluaannya dan apa yang bukan kebutuhannya.[1]
Di banyak tempat, al-Quran sering menyinggung
soal kesederhanaan dan kerendah hatian seperti dalam Surah Syuara ayat 215 “Dan
rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang
yang beriman...”. dalam surah al-Furqan: 63 disebutkan “Dan hamba-hamba
Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi
dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka
mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan…”.
4.
Istiqamah
(disiplin). Istiqamah dimaksudkan sebagai bentuk kepatuhan untuk selalu taat
(konsisten) dan komitmen dalam melakakukan kebaikan dan menghindari segala
bentuk kemaksiatan. Jadi istiqamah tidak dapat muncul jika sikap inkonsisten (mencla-mencle)
masih sering dilakukan. Nilai ini sesuai dengan firman Allah dalam surah
Fusshilat: 30 “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah
Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan
turun kepada mereka dengan mengatakan: “Janganlah kamu takut dan janganlah
merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan
Allah kepadamu.”
Keteguhan sikap ini tidak hanya dalam batas
waktu tertentu tapi sampai batas akhir hayat seorang hamba (Nawawi, 2006:125).[viii]
Istiqamah juga dapat diartikan sebagai perilaku baik hamba yang dilakukan
secara kontinu dalam bentuk lain seperti penghargaan terhadap waktu dan
ketaatan memenuhi tanggung jawab yang diemban (Suja’i, 2013). Dalam ungkapan
yang sederhana, istiqamah ini dipahami sebagai sikap disiplin dalam menempatkan
sikap dan prilaku sesuai kondisi dan waktu yang ditetapkan secara tepat. Jika
kedisiplinan dalam berdakwah, bekerja dan berperilaku sehari-hari dapat
dipraktekkan oleh masyarakat Indonesia, tidak mustahil negara ini menjadi
negara yang maju dalam segala bidang.
5.
Uswah
Hasanah (keteladanan), sebagai prinsip utama dalam
kepemimpinan sifat ini dikembangkan menjadi bentuk komunikasi yang terbuka,
demokratis, dapat menjadi role model bagi orang lain, siap memimpin sekaligus
bersedia dipimpin (Suja’i, 2013). Bentuk keteladanan ideal yang paling
sederhana adalah keteladanan yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. (Syihab,
2006:53) dimana meski status “teladan paling hebat” sudah melekat, Nabi tidak
segan untuk bermusyawarah dengan para sahabat dalam persoalan dunia. Hal ini
dapat dilihat dalam kisah Nabi menjelang perang Badar yang mengajak musyawarah
para sahabat untuk memutuskan apakah umat Islam harus perang atau tidak. Contoh
lain adalah Nabi pun meminta saran dan pendapat dalam kasus fitnah yang menimpa
istri beliau Aisyah r.a. yang digosipkan telah menodai kehormatan rumah tangga
(Syihab, 2012:479).[ix]
Dalam dunia pesantren, nilai keteladanan ini
diterapkan dalam praktik interaksi antara kiai dan santri dimana seorang kiai
akan menjadi teladan bagi semua santrinya. Dhofier (2011) dalam karyanya,
Tradisi Pesantren, menyatakan bahwa kiai merupakan sosok paling penting dalam
lembaga pesantren. Kiai adalah seorang ahli agama Islam yang menjadi sumber
mutlak dari kekuasaan dan kewenangan (power and authority) dalam kehidupan dan
lingkungan pesantren. Semua santri yang tinggal dalam pesantren cenderung
mengikuti sepenuhnya terhadap kebijakan dan aturan kiai baik dalam persoalan
keilmuan Islam maupun dalam tata-kelola lembaga pesantren secara umum.[x]
Kepatuhan pada teladan mulia seperti ini yang
menjadikan lembaga pendidikan pesantren berdiri secara tenang dan hampir jarang
memunculkan gejolak signifikan yang berpengaruh pada tatanan kehidupan sosial
masyarakat. Meski timbul anggapan bahwa kekuasaan kiai terkesan absolut dan
tidak menerima usulan dan sikap musyawarah sesuai pandangan Dhofier, dalam
perkembangannya sikap dan realitas tersebut sudah banyak bergeser dan mengalami
perubahan di zaman modern ini. Dalam roda pengelolaan pesantren di lingkungan
Staimafa sendiri sudah terbiasa dengan adanya sikap terbuka dari elemen
pengurus dan manajemen sehingga program yang dijalankan dapat dilaksanakan
dengan baik.
Konsep keteladanan ini sebenarnya tidak hanya
menekankan secara sepihak pada sosok pemimpin atau kiai yang memegang tampuk
kendali lembaga. Tetapi sebaliknya penanaman nilai ini secara otomatis berlaku
pada peserta didik yang lazin disebut santri. Karena pada akhirnya nanti para
santri yang lulus akan berkiprah di masyarakat untuk mengamalkan ilmu yang
sudah didapat dari pesantren dan tidak mustahil mereka akan menjadi sosok yang
ditokohkan yakni pemimpin itu sendiri.
6.
Zuhud (tidak
berorientasi pada materi) merupakan nilai pesantren yang berkaitan dengan
pengelolaan orientasi hidup dalam konteks hubungan seseorang dengan hal-hal
yang bersifat kebendaan dan jabatan. Sifat ini tidak diartikan sebagai upaya
untuk menjauhi materi dan jabatan, sebaliknya agar dapat memanfaatkan dua hal
tersebut sebagai wasilah untuk pencapaian yang lebih tinggi, yakni ridla Allah
SWT. Pemahaman seperti ini sesuai dengan pandangan Imam Nawawi bahwa yang
dimaksud zuhud terhadap dunia bukan berarti meninggalkan segala bentuk usaha
dan menyepi dari dunia (uzlah) melainkan menghilangkan perasaan senang dan
cinta terhadap dunia dengan menunaikan kewajiban-kewajiban yang diembannya.
Dengan demikian seorang zahid yang hakiki adalah mereka yang tidak bakhil /
pelit juga tidak berlebihan (israf) dalam menggunakan harta sehingga
sesuai dengan firman Allah dalam surah al-Furqan ayat 67: “Dan orang-orang
yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula)
kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.”.
(Nawawi, 2006:74).
Jadi dapat dipahami bahwa orang yang
meninggalkan dunia tidak serta merta dapat dikatakan seorang zahid. Imam
Ghazali mendefinisikan zuhud sebagai perilaku hamba yang rela terhadap apa saja
yang ia peroleh sebagai rizki dari Tuhannya, serta menyadari bahwa apa yang
tidak diperolehnya adalah tidak lebih baik dari apa yang sudah didapatkannya.
7.
Al-Kifah
(Semangat Juang), diartikan sebagai keberanian untuk memulai sesuatu yang baru
untuk kemajuan dan kemaslahatan umat, bangsa dan agama tanpa pamrih pribadi
sekaligus siap menanggung resiko yang mungkin dihadapi (Suja’i, 2013). Nilai
ini dibahasakan oleh Ghulayaini dengan istilah Syaja’ah yang ia
gambarkan sebagai sikap seorang hamba yang tidak pantang menyerah untuk meraih
impian yang dicita-citakan. Keberanian di sini dibagi menjadi dua hal, pertama
keberanian dalam memperjuangkan martabat bangsa dan negara, kedua adalah
keberanian dalam urusan harta. Keduanya merupakan kebutuhan hidup manusia
Syaja’ah berbeda dengan sikap ngawur (tahawwur) atau tolol maupun
teledor. Dalam hal ini Ghulayaini cukup memotivasi pembaca untuk mencintai
tanah air karena membela negara (watan) menurutnya termasuk kategori syaja’ah
yang benar. (Ghulayaini, 1936:31).
8.
I’timad
ala al-Nafs (kemandirian), sifat ini dimaknai sebagai
upaya menghindari ketergantungan kepada pihak lain sehingga berpotensi
mengganggu independensi sikap, prinsip dan pandangan hidup yang pada akhirnya
mempengaruhi nilai-nilai sebelumnya (Suja’i, 2013). Ghulayaini dengan keras mengecam
sikap ketergantungan dengan menyebut orang yang bergantung pada orang lain
lemah cita-citanya, tumpul keseriusannya, terkekang jiwanya. Sikap mandiri
menurutnya harus ditumbuhkan dan dilatih sejak kecil kepada tiap calon generasi
muda sehingga nantinya dapat berkhidmat dan berkotribusi kepada bangsa
(Ghulayaini, 1936:186). Menurut Syafaruddin (2012) kemandirian ini mencakup
empat aspek meliputi aspek intelektual yaitu kemauan untuk berfikir dan
menyelesaikan masalah sendiri, aspek sosial yakni kemauan untuk membina relasi
secara aktif, aspek emosi yakni kemauan untuk mengelola emosinya sendiri, dan
aspek ekonomi yaitu kemauan untuk mengatur ekonomi sendiri.
Inti daripada sikap mandiri adalah seseorang
memiliki hasrat bersaing untuk maju demi kebaikan dirinya, mampu mengambil
keputusan dalam menghadapi masalah yang dihadapi, memiliki kepercayaan diri
dalam menyelesaikan tugas-tugasnya, dan bertanggung jawab terhadap apa yang
dilakukannya.[xi]
Lebih jauh A’la (2006) mengkritisi nilai
kemandirian pesantren hendaknya tidak dipahami sebagai ketidaktergantungan
dalam dimensi ekonomi terhadap kelompok lain, akan tetapi representasi dari
sikap kritis pesantren dan masyarakat dalam menyikapi isu-isu dan persoalan yang terus mengemuka.[2]
9.
Tawashshuth (Moderat), yang dapat diterjemahkan sebagai upaya untuk mencari titik
temu dari berbagai perbedaan paham dan pendapat, sekaligus tidak bertindak
ekstrim dalam menyikapi segala sesuatu (Suja’i, 2013). Sikap moderat ini sangat
penting dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Perilaku
yang seimbang dibutuhkan dalam segala aspek kehidupan baik dalam berfikir,
bermadzhab, makan, berpakaian dan lainnya. Bahkan dalam beragama pun seorang
hamba diperintahkan untuk bersikap moderat yakni tidak tidak berlebihan (ghuluw).
Sesuai kaidah yang berlaku secara umum, segala sesuatu yang melampaui batas
akan berakibat sebaliknya. Maka orang yang berakal adalah mereka yang
meletakkan dirinya secara seimbang dalam segala hal meliputi kehidupan sosial,
ekonomi dan agamanya. Terjadinya pertikaian dan benturan antar manusia tidak
lain disebabkan oleh hilangnya sikap moderat (Ghulayaini, 1936).
10.
Barakah
(blessings), sebagai pelengkap sekaligus penyempurna sembilan nilai sebelumnya.
Barakah dapat diartikan sebagai proses bertambahnya kebaikan karena melakukan
amalan dan perbuatan kebajikan. Maka barakah secara otomatis akan terwujud
setelah sembilan nilai sebelumnya paripurna
(Suja’i, 2013). Barakah adalah bertambahnya rahmat dan nikmat Tuhan yang
diberikan kepada hamba-Nya atas amal perbuatan yang dilakukan (Khattar, 1999).[xii]
Maka jika seseorang dapat dengan teguh menerapkan nilai-nilai pesantren di
atas, diharapkan akan mengalir segala bentuk kenikmatan atau keberkahan dari
Sang Pencipta. Keberkahan ini berupa segala kenikmatan yang turun dari langit
dan bumi, dan karunia apa pun meliputi nikmat iman, sehat, ketenangan hati,
keselamatan, rizki, jodoh dan lain sebagainya. Itulah yang dimaksud dengan
adanya nilai berkah yang menjadi penyempurna yang sekaligus menjadi motivasi
dalam melaksanakan sembilan nilai yang ditetapkan.
Nilai pesantren yang
terangkum dalam Sembilan plus Satu di atas tentu membutuhkan eksplorasi lebih untuk
mencapai bangunan nilai-nilai pesantren yang lebih utuh. Upaya ini dapat
diupayakan dengan menelaah lebih jauh berbagai literatur ke-pesantren-nan yang
relevan meliputi buku dan karangan ulama pesantren yang
menjadi rujukan, kajian dan penelitian. (BERSAMBUNG).
[i] Mahfudh S. (2007). Nuansa Fiqih Sosial, Yogyakarta, YK:LKiS
[ii] Rozin A.G. (2012). Orasi Ilmiah Ketua STAI Mathali’ul Falah,
retrieved 20:7 from http://staimafa.ac.id/blog/2012/12/03/orasi-ilmiah-ketua-stai-mathaliul-falah/
[iii] Suja’i (2013), Pengembangan Budaya Mutu Di Madrasah Aliyah
Mathali’ul Falah Kajen Margoyoso Pati,
[iv] Zarnuji (2004), Talimul Muta’’lim – Thariqut ta’allum, Sudan:
Al-Dar al-Sudaniyah lil-kutub
[v] Nafi, A’la, Anisah, Aziz & Muhamin (2007). Praksis Pembelajaran
Pesantren, Bantul Yogyakarta: Institute for Training and Development.
[vi] Ghulayaini M. (1936). ‘Idzatunnashiin, Bairut: Al-Mathba’ah
al-Wathaniyah
[vii] Mastuhu (1994), Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Jakarta:
INIS
[viii] Nawawi (2006), Bustanul Arifin, Bairut-Lubnan: Darul Bashair
al-Islamiah
[ix] Quraish Shihab (1996). Wawasan Al-Quran: Tafsir Tematik atas
Pelbagai Persoalan Umat, Jakarta: Mizan Pustaka
[x] Dhofier Z. (2011), Tradisi Pesantren, Jakarta:LP3ES
[xi] Syafaruddin (2012). Pendidikan dan Pemberdayaan Masyarakat,
Medan: Perdana Publishing
[xii] Khattar Muhammad Y (1999), Al-Mausu’ah al-Yusufiah fi Bayani
Adillati al-Shufiah, Damascus: Nadhr
Nilai-Nilai Pesantren Mathali’ul Falah
Reviewed by Admin
on
22.59
Rating:

Tidak ada komentar: