Nilai-Nilai Pesantren Mathali’ul Falah

Telaah Nilai-Nilai Pesantren
Setiap pesantren di Indonesia memiliki karakter dan identitasnya sendiri-sendiri (Maunah, 2010). Perbedaan karakter ini menyebabkan adanya perbedaan pula dalam penerapan pembelajaran dan sistem pendidikan yang diterapkan di banyak pesantren. Perbedaan ini disebabkan di antaranya oleh latar belakang berdirinya lembaga tersebut yang memunculkan visi dan misi yang diimpikan. Selain itu, perbedaan terjadi juga karena latar belakang pemegang kendali (kiai) yang mengadopsi kurikulum. Meskipun demikian, semua lembaga pesantren dapat disimpulkan memiliki kesamaan dalam hal karakteristik nilai ke-Islam-an yang dipegang.

Terkait dengan “nilai pesantren”, tidak ada kesepakatan baku terkait dengan nilai-nilai tertentu yang dapat dijadikan acuan sebagai representasi nilai pesantren. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya literatur buku dan kajian tentang pesantren yang mengangkat berbagai macam nilai sebagai landasan dan pegangan sistem yang ada di pesantren. Kendati demikian, telah disepakati bahwa keragaman nilai ini terbukti memiliki kontribusi nyata dan berdampak positif pada pembangunan mental dan kepribadian masyarakat di Indonesia sejak sebelum negara merdeka sampai di era modern ini yang dihadapkan pada penurunan karakter dan moral bangsa.

Nilai pesantren di STAI Mathali’ul Falah

Pada dasarnya, nilai pesantren di Staimafa berangkat dari dua prinsip umum tentang nilai pesantren yang diistilahkan dengan sebutan “Shalih-akram”. Istilah shalih ini diambil dari surah al-Anbiya ayat 105: ‘…anna al ardl yaritsuha ibadiya as shalihuun…’. Menurut pendapat Mahfudzh S. (2007), shalih adalah sosok manusia ideal yang secara potensial mampu berperan aktif, berguna dan terampil dalam kehidupan sesama makhluk untuk mencetak manusia yang berguna terhadap sesamanya dengan berbekal ilmu pengetahuan dari pesantren yang berkaitan dengan kebutuhan kehidupan.[i] Dengan ungkapan lain, menurut Rozin (2012), yang merupakan putra KH. Sahal Mahfudh, shalih adalah individu yang memiliki kesalehan horisontal yaitu mampu membaca tanda-tanda zaman dan sekaligus mampu mengelola kehidupan di muka bumi ini sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman.[ii] Sedangkan bagi Suja’i (2013), “… shalih artinya cakap, terampil, dan profesional karena  mempunyai pengetahuan, keahlian, dan kepiawaian yang tinggi …”.[iii]

Sedangkan akram pada dasarnya diambil dari ayat ‘Inna akramakum ‘inda Allahi atqaakum’ (Al-Hujuraat, 13) yang dipahami sebagai bentuk ideal seorang muslim dengan kesalehan transendental dalam hubungannya sebagai individu dengan Allah Sang Pencipta. Karakter akram dipersonifikasikan melalui niat yang baik, keikhlasan dan menjadikan motivasi seluruh aktifitas hidupnya hanya kepada Allah (Rozin, 2012) sehingga dalam tahap puncaknya merupakan pencapaian kelebihan manusia sebagai makhluk terhadap Khaliqnya demi mencapai kebahagiaan di akhirat (Mahfudh, 2007).

Dua prinsip di atas adalah nilai yang melandasi penjabaran nilai-nilai pesantren di Staimafa yang disebut “sembilan plus satu”. “Sembilan” artinya ada sembilan nilai pesantren yang selalu ditanamkan dan diimplementasikan dalam proses pendidikan di lembaga Staimafa dan lembaga lain yang berafiliasi. Sembilan nilai ini meliputi: hirsh (curiosity), amanah (trustworthy), tawadhu’ (humbleness), istiqamah (discipline), uswah hasanah (role model), zuhud (austerity), kifah (spirit of struggle), dan tawassuth (moderate). Sedangkan “satu” adalah satu nilai yang dinamakan “barakah” yaitu nilai yang bersifat abstrak dan luas sebagai penyempurna setelah sembilan nilai sebelumnya dapat terlaksana secara paripurna (Rozin, 2012).


Skema konsep Sembilan plus Satus

Secara lebih detail, nilai-nilai pesantren tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.       Khirs (curiosity):  konsep khirs dapat ditemukan dalam kitab Talimul muta’allim yang dalam dunia pesantren sering dipakai untuk memotivasi pasa santri.[iv] Hirsh dimaknai sebagai sikap kecintaan dan keingintahuan terhadap ilmu dan pengetahuan yang tinggi sehingga menjadi motivasi belajar yang tidak terkikis oleh waktu dan usia (Rozin, 2012). Nilai khirs ini ditanamkan kepada seluruh individu yang aktif di lembaga Staimafa dan madrasah Mathaliul Falah dalam bentuk kegiatan keilmuan, ketrampilan dan kegiatan-kegiatan lain yang dapat menunjang peningkatan sumber daya manusia yang bersifat kognitif, afektif maupun psikomotorik. Penanaman sikap ingin tahu sudah menjadi kenyataan yang wajib dipenuhi untuk menjadi lembaga pendidikan yang ideal saat ini dan ternyata perhatian pada tiga ranah tersebut menjadi karakteristik pesantren di era modern ini (Nafi, A’la, Anisah, Aziz & Muhamin, 2007:33).[v] Lembaga juga sangat mendorong tersebarnya lulusan didiknya ke berbagai daerah baik dalam maupun luar negeri untuk berkiprah di tengah masyarakat maupun untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Sangat mungkin lulusan yang ke luar negeri akan terbawa oleh disiplin keilmuan negara yang dituju. Hal ini tidak menjadi kehawatiran namun sebaliknya akan berdampak positif karena semakin menambah hazanah keilmuan dari lembaga itu sendiri.

Dalam konteks perkembangan zaman modern, sesuai konsep shalih di atas, lembaga pendidikan yang pada mulanya banyak terfokus pada ilmu keagamaan (tafaqquh fiddin) pada akhirnya wajib menyesuaikan dengan tuntutan zaman yang mengharuskan penguasaan SDM dalam banyak bidang. Dengan demikian tidak ada dikotomi keilmuan antara ilmu agama maupun umum. Dengan adanya SDM yang tersebar secara keilmuan dan jaringan akan menjadikan masyarakat yang inklusif dan terbuka.

Penanaman khirs juga akan berdampak pada pola pikir yang apresiatif kepada orang lain karena seorang santri jika sudah tertanam bahwa keilmuan dirinya masing kurang dan perlu dikembangkan maka prilakunya tentu cenderung ingin tahu dan menghormati orang lain yang lebih pintar. Sebaliknya, jika seseorang sudah merasa cukup terhadap keilmuan yang dimiliki akan cenderung menganggap dia paling benar dan melihat pihak lain salah. Hal ini dapat dilihat dari karakter para pelaku terorisme di negara ini yang sering berdalih mengatasnamakan agama. Realitas semacam ini dapat dipastikan adanya wawasan keilmuan yang minim terhadap agama sehingga menyebabkan adanya sikap dan cara pandang yang salah.

Jika seseorang paham bahwa pengetahuan Islam itu sangat luas seperti yang ditemukan dalam buku-buku ulama zaman dahulu sehingga tidak mengherankan terjadinya perbedaan (ikhtilaf) antar mereka maka siapapun pasti tidak mudah untuk melancarkan tuduhan negatif secara radikal dan menganggap dirinya paling benar. Justifikasi diri secara membabibuta yang dilandasi sikap emosi dapat berakibat fatal yang dapat menimbulkan aksi terorisme dan mengganggu ketenangan hidup masyarakat.

2.       Amanah (trusworthy), menurut Suja’i (2013) merupakan sifat dasar yang harus dimiliki oleh setiap individu. Kejujuran dapat dimaknai sebagai sikap fair sekaligus upaya menghindari persaingan yang saling menghancurkan. Amanah dapat juga diartikan sebagai sikap dapat dipercaya dalam bersosial yang menurut Ghulayaini diistilahkan tsiqqah (Ghulayaini, 1936: 129)[vi] Nilai ini sesuai dengan perintah Al-Quran, surah Annisa ayat 85 bahwa umat Islam diperintahkan untuk memenuhi amanahnya.
Dalam karyanya, Ghulayaini menuturkan bahwa hilangnya kepercayaan (amanah) akan menyebabkan hilangnya kebahagiaan hidup. Lebih lanjut, jika kepercayaan atau kejujuran hilang di antara pribadi manusia, maka antara satu dengan yang lain akan menjadi binatang ganas yang saling berkelahi. Artinya, kehidupan sosial terganggu dan aktivitas ekonomi menjadi lesu karena jalannya kegiatan ekonomi pasti berangkat dari adanya kepercayaan dan kejujuran.

Karakter jujur harus meniadakan prilaku berkhianat, riya (pamer kebaikan), munafiq, dan bohong. Dalam konteks Indonesia, hal ini sangat relevan mengingat realitas negara yang masih dipenuhi dengan praktik korupsi dan pelanggaran hukum menunjukkan bukti hilangnya atau kurangnya prilaku jujur di tengah pejabat negara ini. Oleh karenanya, sikap jujur dan dapat dipercaya merupakan salah satu nilai pesantren yang harus terus ditanamkan dan disebarkan seluas-luasnya dalam menciptakan pengelolaan negara yang baik.

3.       Tawadhu’ (humbleness), sifat sederhana dan kerendah-hatian dalam konteks hubungan sosial yang diejawantahkan dalam bentuk kesantunan dan kebersahajaan dalam bertutur dan bertindak. Sifat al-Tawadldlu’ ini pulalah yang melandasi rasa hormat seseorang kepada guru dan yang lebih tua tanpa mengurangi dialektika akademik yang dinamis. (Suja’i, 2013). Menurut Mastuhu (1994:63), tawadhu’ yang dimaksud tidak sama dengan kemiskinan, tapi sebaliknya identik dengan kemampuan bersikap dan berfikir wajar, proporsional dan tidak tinggi hati. Kesederhanaan bukan monopoli orang miskin, bodoh dan kecil, tetapi juga dapat dimiliki oleh orang kaya, pandai dan besar. Dalam kehidupan nyata dua kemungkinan terjadi bahwa mungkin terjadi orang kaya, pandai dan besar tapi rendah hati. Sebaliknya juga terdapat orang miskin, bodoh dan kecil tetapi sombong, tinggi hati dan berlebih-lebihan. Jadi sederhanya adalah adanya kewajaran sikap yang menempatkan diri dan emosi secara proporsional.[vii] Kesederhanaan merujuk pada upaya untuk menjalani kehidupan sesuai keperluan sehingga ada kesadaran mengenai segala sesuatu yang menjadi keperluaannya dan apa yang bukan kebutuhannya.[1]

Di banyak tempat, al-Quran sering menyinggung soal kesederhanaan dan kerendah hatian seperti dalam Surah Syuara ayat 215 “Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman...”. dalam surah al-Furqan: 63 disebutkan “Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan…”.

4.       Istiqamah (disiplin). Istiqamah dimaksudkan sebagai bentuk kepatuhan untuk selalu taat (konsisten) dan komitmen dalam melakakukan kebaikan dan menghindari segala bentuk kemaksiatan. Jadi istiqamah tidak dapat muncul jika sikap inkonsisten (mencla-mencle) masih sering dilakukan. Nilai ini sesuai dengan firman Allah dalam surah Fusshilat: 30 “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: “Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu.”

Keteguhan sikap ini tidak hanya dalam batas waktu tertentu tapi sampai batas akhir hayat seorang hamba (Nawawi, 2006:125).[viii] Istiqamah juga dapat diartikan sebagai perilaku baik hamba yang dilakukan secara kontinu dalam bentuk lain seperti penghargaan terhadap waktu dan ketaatan memenuhi tanggung jawab yang diemban (Suja’i, 2013). Dalam ungkapan yang sederhana, istiqamah ini dipahami sebagai sikap disiplin dalam menempatkan sikap dan prilaku sesuai kondisi dan waktu yang ditetapkan secara tepat. Jika kedisiplinan dalam berdakwah, bekerja dan berperilaku sehari-hari dapat dipraktekkan oleh masyarakat Indonesia, tidak mustahil negara ini menjadi negara yang maju dalam segala bidang.
5.       Uswah Hasanah (keteladanan), sebagai prinsip utama dalam kepemimpinan sifat ini dikembangkan menjadi bentuk komunikasi yang terbuka, demokratis, dapat menjadi role model bagi orang lain, siap memimpin sekaligus bersedia dipimpin (Suja’i, 2013). Bentuk keteladanan ideal yang paling sederhana adalah keteladanan yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. (Syihab, 2006:53) dimana meski status “teladan paling hebat” sudah melekat, Nabi tidak segan untuk bermusyawarah dengan para sahabat dalam persoalan dunia. Hal ini dapat dilihat dalam kisah Nabi menjelang perang Badar yang mengajak musyawarah para sahabat untuk memutuskan apakah umat Islam harus perang atau tidak. Contoh lain adalah Nabi pun meminta saran dan pendapat dalam kasus fitnah yang menimpa istri beliau Aisyah r.a. yang digosipkan telah menodai kehormatan rumah tangga (Syihab, 2012:479).[ix]

Dalam dunia pesantren, nilai keteladanan ini diterapkan dalam praktik interaksi antara kiai dan santri dimana seorang kiai akan menjadi teladan bagi semua santrinya. Dhofier (2011) dalam karyanya, Tradisi Pesantren, menyatakan bahwa kiai merupakan sosok paling penting dalam lembaga pesantren. Kiai adalah seorang ahli agama Islam yang menjadi sumber mutlak dari kekuasaan dan kewenangan (power and authority) dalam kehidupan dan lingkungan pesantren. Semua santri yang tinggal dalam pesantren cenderung mengikuti sepenuhnya terhadap kebijakan dan aturan kiai baik dalam persoalan keilmuan Islam maupun dalam tata-kelola lembaga pesantren secara umum.[x]

Kepatuhan pada teladan mulia seperti ini yang menjadikan lembaga pendidikan pesantren berdiri secara tenang dan hampir jarang memunculkan gejolak signifikan yang berpengaruh pada tatanan kehidupan sosial masyarakat. Meski timbul anggapan bahwa kekuasaan kiai terkesan absolut dan tidak menerima usulan dan sikap musyawarah sesuai pandangan Dhofier, dalam perkembangannya sikap dan realitas tersebut sudah banyak bergeser dan mengalami perubahan di zaman modern ini. Dalam roda pengelolaan pesantren di lingkungan Staimafa sendiri sudah terbiasa dengan adanya sikap terbuka dari elemen pengurus dan manajemen sehingga program yang dijalankan dapat dilaksanakan dengan baik.
Konsep keteladanan ini sebenarnya tidak hanya menekankan secara sepihak pada sosok pemimpin atau kiai yang memegang tampuk kendali lembaga. Tetapi sebaliknya penanaman nilai ini secara otomatis berlaku pada peserta didik yang lazin disebut santri. Karena pada akhirnya nanti para santri yang lulus akan berkiprah di masyarakat untuk mengamalkan ilmu yang sudah didapat dari pesantren dan tidak mustahil mereka akan menjadi sosok yang ditokohkan yakni pemimpin itu sendiri.

6.       Zuhud (tidak berorientasi pada materi) merupakan nilai pesantren yang berkaitan dengan pengelolaan orientasi hidup dalam konteks hubungan seseorang dengan hal-hal yang bersifat kebendaan dan jabatan. Sifat ini tidak diartikan sebagai upaya untuk menjauhi materi dan jabatan, sebaliknya agar dapat memanfaatkan dua hal tersebut sebagai wasilah untuk pencapaian yang lebih tinggi, yakni ridla Allah SWT. Pemahaman seperti ini sesuai dengan pandangan Imam Nawawi bahwa yang dimaksud zuhud terhadap dunia bukan berarti meninggalkan segala bentuk usaha dan menyepi dari dunia (uzlah) melainkan menghilangkan perasaan senang dan cinta terhadap dunia dengan menunaikan kewajiban-kewajiban yang diembannya. Dengan demikian seorang zahid yang hakiki adalah mereka yang tidak bakhil / pelit juga tidak berlebihan (israf) dalam menggunakan harta sehingga sesuai dengan firman Allah dalam surah al-Furqan ayat 67: “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.”. (Nawawi, 2006:74).

Jadi dapat dipahami bahwa orang yang meninggalkan dunia tidak serta merta dapat dikatakan seorang zahid. Imam Ghazali mendefinisikan zuhud sebagai perilaku hamba yang rela terhadap apa saja yang ia peroleh sebagai rizki dari Tuhannya, serta menyadari bahwa apa yang tidak diperolehnya adalah tidak lebih baik dari apa yang sudah didapatkannya.

7.       Al-Kifah (Semangat Juang), diartikan sebagai keberanian untuk memulai sesuatu yang baru untuk kemajuan dan kemaslahatan umat, bangsa dan agama tanpa pamrih pribadi sekaligus siap menanggung resiko yang mungkin dihadapi (Suja’i, 2013). Nilai ini dibahasakan oleh Ghulayaini dengan istilah Syaja’ah yang ia gambarkan sebagai sikap seorang hamba yang tidak pantang menyerah untuk meraih impian yang dicita-citakan. Keberanian di sini dibagi menjadi dua hal, pertama keberanian dalam memperjuangkan martabat bangsa dan negara, kedua adalah keberanian dalam urusan harta. Keduanya merupakan kebutuhan hidup manusia Syaja’ah berbeda dengan sikap ngawur (tahawwur) atau tolol maupun teledor. Dalam hal ini Ghulayaini cukup memotivasi pembaca untuk mencintai tanah air karena membela negara (watan) menurutnya termasuk kategori syaja’ah yang benar. (Ghulayaini, 1936:31).

8.       I’timad ala al-Nafs (kemandirian), sifat ini dimaknai sebagai upaya menghindari ketergantungan kepada pihak lain sehingga berpotensi mengganggu independensi sikap, prinsip dan pandangan hidup yang pada akhirnya mempengaruhi nilai-nilai sebelumnya (Suja’i, 2013). Ghulayaini dengan keras mengecam sikap ketergantungan dengan menyebut orang yang bergantung pada orang lain lemah cita-citanya, tumpul keseriusannya, terkekang jiwanya. Sikap mandiri menurutnya harus ditumbuhkan dan dilatih sejak kecil kepada tiap calon generasi muda sehingga nantinya dapat berkhidmat dan berkotribusi kepada bangsa (Ghulayaini, 1936:186). Menurut Syafaruddin (2012) kemandirian ini mencakup empat aspek meliputi aspek intelektual yaitu kemauan untuk berfikir dan menyelesaikan masalah sendiri, aspek sosial yakni kemauan untuk membina relasi secara aktif, aspek emosi yakni kemauan untuk mengelola emosinya sendiri, dan aspek ekonomi yaitu kemauan untuk mengatur ekonomi sendiri.

Inti daripada sikap mandiri adalah seseorang memiliki hasrat bersaing untuk maju demi kebaikan dirinya, mampu mengambil keputusan dalam menghadapi masalah yang dihadapi, memiliki kepercayaan diri dalam menyelesaikan tugas-tugasnya, dan bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukannya.[xi]

Lebih jauh A’la (2006) mengkritisi nilai kemandirian pesantren hendaknya tidak dipahami sebagai ketidaktergantungan dalam dimensi ekonomi terhadap kelompok lain, akan tetapi representasi dari sikap kritis pesantren dan masyarakat dalam menyikapi  isu-isu dan persoalan yang terus mengemuka.[2]

9.       Tawashshuth (Moderat), yang dapat diterjemahkan sebagai upaya untuk mencari titik temu dari berbagai perbedaan paham dan pendapat, sekaligus tidak bertindak ekstrim dalam menyikapi segala sesuatu (Suja’i, 2013). Sikap moderat ini sangat penting dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Perilaku yang seimbang dibutuhkan dalam segala aspek kehidupan baik dalam berfikir, bermadzhab, makan, berpakaian dan lainnya. Bahkan dalam beragama pun seorang hamba diperintahkan untuk bersikap moderat yakni tidak tidak berlebihan (ghuluw). Sesuai kaidah yang berlaku secara umum, segala sesuatu yang melampaui batas akan berakibat sebaliknya. Maka orang yang berakal adalah mereka yang meletakkan dirinya secara seimbang dalam segala hal meliputi kehidupan sosial, ekonomi dan agamanya. Terjadinya pertikaian dan benturan antar manusia tidak lain disebabkan oleh hilangnya sikap moderat (Ghulayaini, 1936).

10.   Barakah (blessings), sebagai pelengkap sekaligus penyempurna sembilan nilai sebelumnya. Barakah dapat diartikan sebagai proses bertambahnya kebaikan karena melakukan amalan dan perbuatan kebajikan. Maka barakah secara otomatis akan terwujud setelah sembilan nilai sebelumnya paripurna  (Suja’i, 2013). Barakah adalah bertambahnya rahmat dan nikmat Tuhan yang diberikan kepada hamba-Nya atas amal perbuatan yang dilakukan (Khattar, 1999).[xii] Maka jika seseorang dapat dengan teguh menerapkan nilai-nilai pesantren di atas, diharapkan akan mengalir segala bentuk kenikmatan atau keberkahan dari Sang Pencipta. Keberkahan ini berupa segala kenikmatan yang turun dari langit dan bumi, dan karunia apa pun meliputi nikmat iman, sehat, ketenangan hati, keselamatan, rizki, jodoh dan lain sebagainya. Itulah yang dimaksud dengan adanya nilai berkah yang menjadi penyempurna yang sekaligus menjadi motivasi dalam melaksanakan sembilan nilai yang ditetapkan.
Nilai pesantren yang terangkum dalam Sembilan plus Satu di atas tentu membutuhkan eksplorasi lebih untuk mencapai bangunan nilai-nilai pesantren yang lebih utuh. Upaya ini dapat diupayakan dengan menelaah lebih jauh berbagai literatur ke-pesantren-nan yang relevan meliputi buku dan karangan ulama pesantren yang menjadi rujukan, kajian dan penelitian. (BERSAMBUNG).



[1] A’la, Pembaruan Pesantren, hal. 13
[2] Lihat A’la, Pembaruan Pesantren, hal. 12




[i] Mahfudh S. (2007). Nuansa Fiqih Sosial, Yogyakarta, YK:LKiS
[ii] Rozin A.G. (2012). Orasi Ilmiah Ketua STAI Mathali’ul Falah, retrieved 20:7 from http://staimafa.ac.id/blog/2012/12/03/orasi-ilmiah-ketua-stai-mathaliul-falah/
[iii] Suja’i (2013), Pengembangan Budaya Mutu Di Madrasah Aliyah Mathali’ul Falah  Kajen Margoyoso Pati,
[iv] Zarnuji (2004), Talimul Muta’’lim – Thariqut ta’allum, Sudan: Al-Dar al-Sudaniyah lil-kutub
[v] Nafi, A’la, Anisah, Aziz & Muhamin (2007). Praksis Pembelajaran Pesantren, Bantul Yogyakarta: Institute for Training and Development.
[vi] Ghulayaini M. (1936). ‘Idzatunnashiin, Bairut: Al-Mathba’ah al-Wathaniyah
[vii] Mastuhu (1994), Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Jakarta: INIS
[viii] Nawawi (2006), Bustanul Arifin, Bairut-Lubnan: Darul Bashair al-Islamiah
[ix] Quraish Shihab (1996). Wawasan Al-Quran: Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat, Jakarta: Mizan Pustaka
[x] Dhofier Z. (2011), Tradisi Pesantren, Jakarta:LP3ES
[xi] Syafaruddin (2012). Pendidikan dan Pemberdayaan Masyarakat, Medan: Perdana Publishing
[xii] Khattar Muhammad Y (1999), Al-Mausu’ah al-Yusufiah fi Bayani Adillati al-Shufiah, Damascus: Nadhr
Nilai-Nilai Pesantren Mathali’ul Falah Nilai-Nilai Pesantren Mathali’ul Falah Reviewed by Admin on 22.59 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Gambar tema oleh mammuth. Diberdayakan oleh Blogger.