Semakin berkembang dan
majunya zaman, semakin kompleks persoalan yang muncul di tengah masyarakat. Tak
terkecuali persoalan-persoalan yang berkaitan dengan status hukum agama
tertentu. Tema persoalan agama ini pun dalam perkembangannya sudah
dikelompokkan sedemikian rupa sesuai dengan disiplin dan kategorinya yang lebih
spesifik. Contoh sederhana, fiqih muamalah yang pada awalnya dipahami sebagai
disiplin ilmu yang mengatur segala persoalan interaksi manusia secara umum
meliputi munakahah, siyasah, muamalah
maliyah, jinayah dst, saat ini lebih dimaksudkan pada pemahaman mengenai
aturan yang berkaitan dengan muamalah
maliyah (kegiatan yang berkaitan dengan harta dan perilaku bisnis).
Dalam sub tema yang spesifik
itu, ternyata masih menyisakan sejumlah sub-sub tema penting yang lain yang
menyebabkan cakupan dan wilayahnya lebih sempit lagi. Tidak heran, formulasi
hukum yang dikeluarkan untuk suatu kategori persoalan fiqh tertentu saat ini bisa
sampai berbuku-buku dan berdurasi secara berkala. Contoh yang paling konkrit
adalah seperti fatwa DSN MUI tentang perbankan syariah yang sudah mencapai 95
fatwa[1]
dengan berbagai tema persoalan yang berbeda. Realitas ini dapat dipastikan akan
berkembang dan bertambah terus seiring dinamika persoalan kehidupan dan
masyarkat di Indonesia.
Urgensi Fatwa
Dinamika kompleksnya persoalan
agama tersebut tentu membutuhkan perhatian serius terkait dengan legitimasi dan
penetapan hukum sesuai ajaran yang berlaku. Kabar yang baik tentunya ketika
melihat geliat masyarakat muslim di Indonesia, dari berbagai latar belakang
pemahaman dan lembaga, persoalan yang membutuhkan jawaban agama ini dapat
direspon secara baik. Lembaga atau organisasi representasi kelompok masyarakat
seperti NU, Muhammadiyah, MUI, dan Persis secara intensif sudah berkiprah dalam
menjawab (ifta’) status hukum
persoalan yang berkembang di masyarakat Indonesia. Meski masing-masing membawa
karakter dan metodologi formulasi hukum yang berbeda-beda, setidaknya ini sudah
memberikan solusi dan jawaban kepada masyarakat awam dan siapapun yang sedang
membutuhkan suatu jalan keluar mengenai persoalan agama.
Tak dapat dipungkiri,
kedudukan fatwa sangat penting bagi kehidupan masyarakat Islam. Tidak adanya
fatwa menyebabkan kondisi masyarakat –khushusnya masyarakat awam- dilanda
kebingunan dalam menentukan hukum persoalan yang mereka hadapi. Kebingungan
yang tidak terkendali dapat menyebabkan sikap lepas kontrol dan bebas nilai dan
tidak mustahil akan berujung pada chaos horizontal karena seseorang dengan
pemahaman yang liar akan berperilaku secara liar.
Urgensi kehadiran fatwa
semakin terasa ketika melihat dinamika masyarakat di banyak tempat, fatwa
berfungsi sebagai instrumen regulasi sosial dan lembaga masyarakat. Tidak
sedikit lembaga pemerintahan suatu negara mendasarkan putusannya pada hasil
fatwa ulama kaitannya dengan penyelesaian masalah sosial, politik dan ekonomi.
Konsep Fatwa
Terminologi fatwa harus
dimengerti dan disepakati secara benar dari sisi filosofi, aturan, dan
konsepnya yang baku sesuai dengan pandangan ulama mu’tabar. Dengan demikian
arah dan pegangan suatu lembaga fatwa menjadi jelas dan kredibel. Selain itu
juga untuk memperjelas posisi fatwa yang sekarang ini banyak mengalami
generalisasi dan distorsi oleh beberapa kalangan.
Beberapa hal berikut adalah
konsep fatwa[2]:
1. Fatwa adalah jawaban atas
pertanyaan kaitannya dengan hukum agama. Jadi berbeda dengan irsyad atau
nasehat yang tidak memerlukan pertanyaan.
2. Fatwa harus disampaikan
kepada penanya /peminta fatwa.
3. Fatwa tidak mengikat /
mewajibkan untuk diikuti sehingga berbeda dengan hukum atau qadha yang
dikeluarkan hakim.
4. Fatwa adalah respon atas
suatu persoalan yang muncul sehingga berbeda dengan pengajaran (ta’lim).
5. Fatwa adalah berdasarkan
dalil syara’ sehingga tidak berangkat dari pendapat tanpa dasar.
6. Fatwa mencakup hal-hal yang
bersifat “qat’i” (jelas hukumnya) dan dzanni sehingga berbeda dengan ijtihad
yang tidak digunakan untuk masalah qat’i.
7. Fatwa bisa dilakukan dengan
perkataan, perbuatan, tulisan, atau isyarat.
8. Fatwa mencakup semua
persoalan kehidupan meliputi akidah, ibadah, akhlaq dan muamalah.
Dinamika lembaga fatwa
Berangkat dari konsep fatwa di
atas, maka eksistensi fatwa mudah bermunculan dengan berbagai latarbelakang
yang berbeda. Tidak hanya negara berpenduduk mayoritas Muslim, negara minoritas
Muslim pun kini banyak memiliki tokoh dan institusi fatwa yang mereka anut.
Di Indonesia, fatwa juga
muncul dari beberapa lembaga dan organisasi Islam di tanah air. Dari level
pemerintah yang merujuk DSN MUI, sampai organisasi-organisasi keagamaan yang
ada memiliki produk dan metodologi fatwanya sendiri-sendiri. Tidak menutup
kemungkinan, formulasi fatwa akan bertambah lagi seiring dengan dirasa belum cukupnya
jawaban yang didapat dari produk fatwa yang ada.
Berikut adalah sebagian contoh
mainstream fatwa baik berupa organisasi masyarakat maupun instansi formal
negara, dalam level nasional maupun internasional:
1. Nahdlatul Ulama
Melalui Lembaga Bahstul
Masail Nahdlatul Ulama (LBMNU), NU menerapkan metodologinya yang cenderung
tekstual berbasis pendapat ulama madzhab empat dan kitab-kitab mu’tabarah,
serta mengedepankan formulasi hukum dengan madzhab
qauli (Taqlid bermadzhab) – meski
pada akhirnya dianjurkan juga konsep bermadzhab manhaji.[3]
2. Majlis Ulama Indonesia (MUI)
Berhubung MUI adalah lembaga
agama yang harus menaungi atau menjadi representasi umat Islam di seluruh
Indonesia, metodologi fatwanya cenderung akomodatif terhadap berbagai pendapat
ulama dan maadzhab. Metode yang dipergunakan oleh MUI dalam proses penetapan
fatwa dilakukan melalui tiga pendekatan, yaitu Pendekatan Nash Qath'i,
Pendekatan Qauli dan Pendekatan Manhaji. Setidaknya ciri-cirinya dapat dilihat
dari Pedoman Penetapan Fatwa MUI tanggal 20 – 22 Syawal 1424 H/14 – 16 Desember 2003
M yang menekankan:
a. Peninjauan terhadap pendapat
para imam mazhab dan ulama yang mu’tabar serta fatwa-fatwa ulama yang lain.
b. Al-jam’u wa al-taufiq: penetapan fatwa didasarkan pada hasil usaha penemuan titik temu di antara
pendapat-pendapat Ulama mazhab.
c. Tarjih
dengan menggunakan kaidah-kaidah Ushul Fiqh
Muqaran.
d. Penetapan fatwa didasarkan
pada hasil ijtihad jama’i (kolektif) melalui metode bayani,
ta’lili (qiyasi, istihsani, ilhaqi), istishlahi, dan sadd al-zari’ah).
e. Harus memperhatikan
kemaslahatan umum dan maqashid al-syari’ah.
f.
Jika terjadi benturan antara maslahat non-syar’iyyah dengan nash qath’iy, maslahat tidak dipakai, karena
kemaslahatan hanya ditetapkan akal, sedang nash qath’iy oleh wahyu.[4]
3. Muhammadiyah
Organisasi Islam terbesar
kedua di Indonesia ini, melalui Majlis Tarjih dan Tajdidnya memakai metodologi
fatwa yang cukup berbeda dengan MUI-NU dengan ciri-ciri:
a. Penetapan hukum menggunakan
ijma’, qiyas, maslahah mursalah dan ‘urf .
b. Jika ada pertentangan
beberapa dalil, diterapkan Al-jam‘u wa
at-taufiq.
c.
At-tarjih.
d.
An-naskh, yakni mengamalkan dalil yang
munculnya lebih akhir.
e. Tidak mengikatkan diri pada
suatu mazhab tetapi pendapat-pendapat mazhab dapat menjadi bahan pertimbangan.
f.
Pendekatan Ijtihad bayani:
ijtihad terhadap nash yang mujmal, yakni porsi nash dalam ijtihad bayani sangat
dominan daripada porsi penalaran akal.
g. Pendekatan Ijtihad qiyasi: menyamakan hukum yang telah ada
nashnya kepada masalah baru yang belum ada hukumnya berdasarkan nash, karena
adanya persamaan ‘illat.
h. Pendekatan Istishlahi: pencarian maslahat berupa
perlindungan terhadap agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. [5]
4. Persatuan Islam (Persis):
Sedangkan Persis yang
terkenal dengan pandangan tekstualnya (dzahir) memiliki Dewan Hisbah (1967)
dengan karakteristik:
a. Mendahulukan zhahir ayat al-Qur'an daripada ta'wil.
b. Mendahulukan makna haqiqi daripada makna majazi kecuali jika ada alasan (qarinah).
c. Mengutamakan tafsir bi al-Ma'tsur dari pada bi al-Ra'yi
d. Tidak bermadzhab.
e. Menggunakan hadis shahih dan
hasan
f.
Dalam masalah-masalah yang tidak diketemukan nash jelas dalam al-Qur'an
dan al-Hadîts: dalam masalah ibadah ghair
mahdhah, qiyas diterima selama memenuhi persyaratan qiyas.
g. Dalam masalah-masalah tertentu,
Hadits yang diriwayatkan oleh muslim lebih didahulukan daripada riwayat
Bukhari.
h. Meninggalkan sesuatu yang
dikhawatirkan jatuh pada hukum bid'ah lebih
didahulukan daripada mengamalkan sesuatu yang diragukan sunnahnya.
i.
Pendapat imam madzhab menjadi pertimbangan dalam mengambil ketentuan
hukum, sepanjang sesuai dengan al-Qur'an dan al-Sunnah.
5. Fiqh Sosial Institute (FISI)
Fisi, meski masih dalam
tahap upaya merumuskan gagasan fiqh sosial yang lebih konkrit, setidaknya
sebagian prinsip dan nilai yang akan dibumikan sudah bisa ditangkap yakni:
a. Interpretasi teks-teks fiqh
secara kontekstual
b. Perubahan pola bermadzhab
dari bermadzhab tekstual, ke bermadzhab metodologis (madzhab manhaji)
c. Verifikasi mendasar, mana
ajaran yang pokok (ushul) dan mana yang cabang (furu’).
d. Fiqh dihadirkan sebagai
etika sosial, bukan hukum positif negara.
e. Pengenalan metodologi
pemikiran filosofis, terutama dalam masalah budaya dan sosial.[6]
6. Fiqh minoritas:
Hampir mirip dengan
karakteristik fiqh sosial, fiqh minoritas memiliki prinsip-prinsip[7]:
a. Ijtihad Kontemporer
b. Pemahaman secara kontekstual
bukan Tektual
c. Memudahkan bukan Memberatkan
d. Pendapat Jumhur bukan
Pribadi
e. Beda keadaan beda fatwa
f.
Menerima kedaruratan
Lembaga ini termasuk kategori lembaga fatwa tertua
(1895) di Mesir di bawah Menteri Kehakiman. Bisa dikatakan bahwa lembaga ini
adalah MUI-nya Mesir mengingat keterkaitannya dengan pemerintahan. Metode
ifta’nya mengambil prinsip:
a. Wasthiyah: sikap moderat tanpa
harus fanatik dengan satu madzhab.
b. Fatwa berbentuk lisan,
telefon, tertulis, pos dan bisa melalui fax atau email.
8. Majma’ Fiqih Islami
Institusi fatwa ini di bawah Rabithah Alam Islami
atau Liga Muslim Sedunia yang merupakan organisasi Islam Internasional
terbesar yang berdiri di Makkah Al-Mukarramah pada 14 Zulhijjah 1381
H/Mei 1962 M oleh
22 Negara Islam.
9. Majma’ Buhuts Al-Islami
Lembaga fatwa ini memiliki 50 orang ulama terbesar dari
seluruh dunia Islam yang juga representasi dari hampir semua mazhab fiqih yang
ada di dunia Islam.
10. AAOIFI
AAOIFI adalah organisasi internasional Islam
non-badan hukum nirlaba yang menyiapkan standar akuntansi, audit, pemerintahan,
etika dan standar Syariat Islam lembaga keuangan dan industri.[9] AAOIFI membuat formulasi
standar hukum syariah yang bisa dipakai oleh lembaga keuangan syariah secara
Iuas. Standar AAOIFI ini cukup unik karena memberi penjelasan yang cukup detil
meliputi aplikasi konsep syariah yang bisa diterapkan di lembaga keuangan
syariah disertai dengan dasar hukum syariahnya.
Sebenarnnya masih banyak
lagi badan fatwa lain yang dapat dijadikan referensi, baik secara lembaga
maupun individu yang kredibel secara keilmuan. Namun begitu, sekian model fatwa
di atas cukup untuk dijadikan sebuah framework alternatif untuk merancang
fatwa atau studi tentang hasil fatwa yang diidealkan.
Selanjutnya, dari sekian
mainstream metode fatwa tersebut itu, ada beberapa poin kesimpulan yang dapat
ditarik bahwa:
1. Ada sejumlah perbedaan tajam
mengenai pendekatan yang digunakan untuk penetapan suatu hukum. NU dan MUI
cenderung menggunakan pendapat ulama madzhab sedangkan Muhammadiyah dan Persis
cenderung merujuk langsung ke qur’an dan hadist.
2. Sumber utama dari Al-Quran
dan Hadist yang dipakai masing-masing sama untuk semua pandangan, tetapi ada keengganan
metode bahstul masail NU untuk menyatakannya secara ekplisit.
3. Ada perdebatan dan klaim
kebenaran antara pendapat yang berdasarkan ijtihad ulama madzhab untuk
memutuskan suatu hukum dengan pengambilan ijtihad secara langsung dari
teks-teks al-quran dan hadist.
4. Masing-masing memiliki
kesamaan prinsip dan metodologi seperti maslahah, qiyas, ijtihad dst, tetapi
pemeringkatannya yang berbeda.
5. Konsep maslahah diterapkan
di semua metode tapi penamaannya yang mungkin berbeda.
Studi Fatwa Perbankan Syariah
Sejalan dengan terus
berkembangnya persoalan dan isu perbankan syariah, kebutuhan akan kejelasan
hukum terkait tentu tidak dapat ditunda-tunda. Kondisi ini mengharuskan adanya
formulasi hukum yang kontinu dan upto
date agar problematika yang mengemuka dapat langsung atau segera menemukan
legitimasi hukumnya. Harapan ini dapat dimanifestasikan dengan adanya metode
fatwa yang baik, standar dan applicable.
Setidaknya dengan melihat
sejumlah metode fatwa dan penggalian hukum di atas, inisiatif mulia mengenai
upaya merancang metode fatwa perbankan syariah sedikit terbuka. Landasan dan
kerangka berfikir yang sudah ada tidak ada salahnya diuji apakah masih relevan
dan compatible dengan perkembangan
situasi sekarang ini. Jika memang sudah tidak relevan dan tidak mampu menjawab
perkembangan masalah yang ada, baru dapat dirumuskan konsep baru mengenai
formula penetapan fatwa.
Dapat ditarik kesimpulan
bahwa sedikitnya ada tiga langkah penting tentang metode penggalian (istinbath)
hukum yang cukup relevan sekarang dipakai:
1. Menjaga spirit fatwa:
Sesuai
dengan filosofi dasar bahwa fatwa adalah jawaban kepada suatu persoalan yang
ditanyakan seorang mustafti, maka impelementasi pembuatan fatwa harus sesuai
dengan spirit dan fungsi awal fatwa itu sendiri sesuai denga pendapat ulama
yang mu’tabar. Hal ini meliputi fungsi:
a. Tabyin: artinya untuk menjelaskan dan menetapkan hukum pada suatu persoalan.
b. Tawjih: yakni memberikan petunjuk (guidance) serta pencerahan kepada masyarakat luas tentang norma
ekonomi syari’ah.
c.
Bebas kepentingan politis, kelompok maupun
individu.
2. Metodologi Manhaji lintas madzhab: tidak ada salahnya mengikuti pandangan KH.
Sahal Mahfudz bahwa kaidah-kaidah pengambilan hukum yang diciptakan ulama masa
lalu tetap bisa dipakai sebagai metode hingga sekarang. Istilahnya adalah
pengembangan fiqh, bukan pembaharuannya. Jadi, misalkan spirit fiqh sosial yang
memberikan lima pendekatan di atas masih bisa diterapkan. Oleh sebab itu,
formulasi suatu hukum akan berangkat dari konsep-konsep ulama masa lalu: qiyas, ijma’, maslahah, saddu az-zari’ah,
istihsan, al-urf.
3. Eksplorasi konsep: Perlu adanya pendalaman dan penjelasan (syarah) fatwa yang lebih luas tentang konsep fatwa yang ada
sehingga dapat memberikan wawasan ilmu yang komplit. Format fatwa yang dibuat
secara simpel dan sederhana tentu mengakibatkan multi-tafsir dan ambiguitas
bagi banyak orang. Salah satu contoh konsep Fiqh Sosial yang menyatakan
interpretasi teks-teks fiqh secara kontekstual idealnya dijabarkan dalam
beberapa variabel sehingga penerapan istinbath hukumnya lebih jelas dan
terukur.
4. Ijtihad kolektif: ijtihad jama’I yang mendatangkan para ahli di bidang syariah maupun
ekonomi juga menjadi syarat mutlak agar produk hukum yang dikeluarkan relevan
dan kontekstual dengan kondisi di tataran praktis. Hal ini sejalan dengan
prinsip tahqiqul manath (verifikasi
obyek yang dikaji) dalam kajian usul fiqh.
5. Perumusan konsep etika perbankan syariah
Etika Islam dalam Ekonomi
termasuk menjadi tema hangat bersamaan dengan berkembangnya konsep perbankan
syariah sekarang ini. Tidak sedikit pakar perbankan dan intelektual kontemporer
mengkaji dan menuliskan untuk menguak konsep etika yang ternyata sangat
dibutuhkan dalam sebuah sistem perbankan. Seandainya konsep etika mampu
dirumuskan secara komprehensif dan jelas dalam metode formulasi hukum
perbankan, hal ini bisa jadi menjadi khazanah yang luar biasa bahkan bisa
menjadi karakteristik dari lembag studi fatwa yang ada.
Memang tidak ada yang
menjamin bahwa pintu ijtihad tertutup secara mutlak, juga tidak ada yang memastikan
formulasi penggalian hukum (istinbath hukum) dari para ulama kesohor sudah
sempurna. Namun sejauh mana eksplorasi dan upaya (badzlul juhdi)
seseorang menerapkan konsep istinbath yang ada terbukti sudah tidak
mampu menjawab persoalan hukum yang mengemuka di tengah masyarakat?.
Wallahu a’lam.
[1]
Jumlah tersebut per November
2014, Dari angka itu, mayoritas berasal dari sektor perbankan syariah yang
sebanyak 67 fatwa. Sebanyak 14 fatwa di sektor pasar modal syariah, enam fatwa
terkait asuransi syariah, empat fatwa di aspek gadai syariah, dua fatwa terkait
penjualan langsung berjenjang atau multi level marketin (MLM) dan dua fatwa
lagi terkait akuntansi syariah. Lihat http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5461f08a0a087/butuh-dukungan-fatwa--ojk-gandeng-dsn-mui
[2]
Lihat, Muhammad Sulaiman Abdullah Al-Asyqar, Al-Futya wa Manahijul Ifta’, Kuwait:
Maktabah Al-Manar Al-Islamiyah,
1976, hal. 9., Lihat juga Muhammad Yasri Ibrahim, Al-Fatwa, Ahammiyatuha Dhawabithuha Atsaruha, 2007, cet. 1, hal 30
[3]
Lihat, Ahmad Zahro, “Tradisi intelektual NU: Lajnah Bahtsul Masa'il, 1926-1999”,
LKIS Yogyakarta: 2004, hal. 142. Secara detil penetapan hasil bahstul masail NU
dilakukan melalui proses dan metodologi yang cukup panjang meliputi: kerangka
bermazhab empat, “taqrir jama’iy”, pengakuan pendapat Asy-Syaikhani (an-Nawawi
dan ar-Rafi’iy), ilhaq masail bi
nazhor’iriha secara jama’iy, dst. Selengkapnya dapat dibaca melalui buku di
atas.
[4]
Lihat, Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia Pertama Tahun 2003.
[5]
Keputusan Munas Tarjih XXV tentang Manhaj Tarjih dan Pengembangan Pemikiran
Islam
[6]
H. MA. Sahal Mahfudh, Mengaktualkan Fiqh
Klasik di Era Global – Epistemologi Fiqh Sosial, Purworejo : STAIMAFA Press , 2014, hal. 12
[7]
Ahmad Sarwat, Fiqih Minoritas, DU Center Press:2010, hal. 25
[8]
Ahmad Sarwat, Seri Fiqih Kehidupan (1): Pengantar Ilmu Fiqih, Jakarta:
DU Publishing, 2011, hal. 248
[9] Lihat,
Ahmad Ifham Solihin, Ini lho, bank syariah!, PT Grafindo Media Pratama,
2008, hal. 39, lihat juga, http://www.aaoifi.com/en/about-aaoifi/about-aaoifi.html
DIALEKTIKA STUDI FATWA PERBANKAN SYARIAH
Reviewed by Admin
on
21.13
Rating:

Tidak ada komentar: